Imunisasi ? Yes oR nO ?!
Pendapat saya pribadi mengenai
imunisasi dan vaksin
Hati saya merasa lebih tentram
dengan condong ke arah pihak yang pro. Wallahu ‘alam. Saya memang
memiliki latar belakang pendidikan dikesehatan, sehingga mungkin ada yang
mengira saya terpengaruh oleh ilmu saya sehingga mendukung imunisasi dan
vaksinasi. Akan tetapi, justru karena saya memiliki latar belakang tersebut,
saya bisa menelaah lebih dalam lagi dan mencari fakta-fakta yang saya rasa
lebih menentramkan hati saya. Berikut saya berusaha menjabarkannya dan
menjawab apa yang menjadi alasan mereka menolak imunisasi.
Vaksin haram?
Ini yang cukup meresahkan karena
sebagian besar masyarakat Indonesia adalah muslim. Namun mari kita kaji, kita
ambil contoh vaksin polio atau vaksin meningitis yang produksinya menggunakan
enzim tripsin dari serum babi. Belakangan ini menjadi buah bibir karena cukup
meresahkan jama’ah haji yang diwajibkan pemerintah Arab Saudi vaksin, karena
mereka tidak ingin terkena atau ada yang membawa penyakit tersebut ke jama’ah
haji di Mekkah.
Banyak penjelasan dari berbagai
pihak, salah satunya dari Drs. Iskandar, Apt., MM, -Direktur Perencanaan dan
pengembangan PT. Bio Farma (salah satu perusahaan pembuat vaksin di Indonesia)-
yang mengatakan bahwa enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan
vaksin, khususnya vaksin polio (IPV). Beliau mengatakan,
“Air PAM dibuat dari air sungai
yang mengandung berbagai macam kotoran dan najis, namun menjadi bersih dan
halal stetalh diproses”. Beliau juga mengatakan, “Dalam proses pembuatan vaksin,
enzim tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik [enzim yang
digunakan sebagai katalisator pemisah sel/protein]. Pada hasil akhirnya
[vaksin], enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini
tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan
penyaringan.” [sumber:
http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin]
Jika ini benar, maka tidak bisa
kita katakan bahwa vaksin ini haram, karena minimal bisa kita kiaskan
dengan binatang jallalah, yaitu binatang yang biasa memakan
barang-barang najis. Binatang ini bercampur dengan najis yang haram
dimakan, sehingga perlu dikarantina kemudian diberi makanan yang suci dalam
beberapa hari agar halal dikonsumsi. Sebagian ulama berpendapat minimal tiga
hari dan ada juga yang berpendapat sampai aroma, rasa dan warna najisnya
hilang.
Imam Abdurrazaq As-Shan’ani rahimahullah
meriwayatkan,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَحْبِسُ الدَّجَاجَةَ
ثَلَاثَةً
إِذَا
أَرَادَ
أَنْ
يَأْكُلَ
بَيْضَهَا
”Dari Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau mengurung [mengkarantina] ayam yang
biasa makan barang najis selama tiga hari jika beliau ingin memakan telurnya.”
[Mushannaf Abdurrazaq no. 8717]
Kalau saja binatang yang jelas-jelas
bersatu langsung dengan najis -karena makanannya kelak akan menjadi darah
dan daging- saja bisa dimakan, maka jika hanya sebagai katalisator
sebagaimana penjelasan di atas serta tidak dimakan, lebih layak lagi untuk
dipergunakan atau minimal sama.
Perubahan benda najis atau haram
menjadi suci
Kemudian ada istilah [استحالة] “istihalah”
yaitu perubahan benda najis atau haram menjadi benda yang suci yang telah
berubah sifat dan namanya. Contohnya adalah jika kulit bangkai yang najis dan
haram disamak, maka bisa menjadi suci atau jika khamr menjadi cuka
-misalnya dengan penyulingan- maka menjadi suci. Pada enzim babi vaksin
tersebut telah berubah nama dan sifatnya atau bahkan hanya sebagai katalisator
pemisah, maka yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah
menjelaskan masalah istihalah,
وَاَللَّهُ – تَعَالَى – يُخْرِجُ الطَّيِّبَ مِنْ الْخَبِيثِ وَالْخَبِيثَ
مِنْ
الطَّيِّبِ،
وَلَا
عِبْرَةَ
بِالْأَصْلِ،
بَلْ
بِوَصْفِ
الشَّيْءِ
فِي
نَفْسِهِ،
وَمِنْ
الْمُمْتَنِعِ
بَقَاءُ
حُكْمِ
الْخُبْثِ
وَقَدْ
زَالَ
اسْمُهُ
وَوَصْفُهُ،
“Dan Allah Ta’ala mengeluarkan
benda yang suci dari benda yang najis dan mengeluarkan benda yang najis dari
benda yang suci. Patokan bukan pada benda asalnya, tetapi pada sifatnya yang
terkandung pada benda tersebut [saat itu]. Dan tidak boleh menetapkan hukum
najis jika telah hilang sifat dan berganti namanya.” [I’lamul muwaqqin ‘an
rabbil ‘alamin 1/298, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, Cetakan pertama,
1411 H, Asy-Syamilah]
Percampuran benda najis atau haram
dengan benda suci
Kemudian juga ada istilah [استحلاك] “istihlak”
yaitu bercampurnya benda najis atau haram pada benda yang suci sehingga
mengalahkan sifat najisnya , baik rasa, warna, dan baunya. Misalnya hanya
beberapa tetes khamr pada air yang sangat banyak. Maka tidak membuat
haram air tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ اَلْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“Air itu suci, tidak ada yang
menajiskannya sesuatu pun.” [Bulughul Maram, Bab miyah no.2,
dari Abu Sa’id Al-Khudriy]
كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ
لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ
– وَفِي لَفْظٍ: – لَمْ
يَنْجُسْ
“Jika air mencapai dua qullah tidak
mengandung najis”, di riwayat lain, “tidak najis” [Bulughul
Maram, Bab miyah no.5, dari Abdullah bin Umar]
Maka enzim babi vaksin yang hanya
sekedar katalisator yang sudah hilang melalui proses pencucian, pemurnian, dan
penyulingan sudah minimal terkalahkan sifatnya.
Jika kita memilih vaksin adalah
haram
Berdasarkan fatwa MUI bahwa vaksin
haram tetapi boleh digunakan jika darurat. Bisa dilihat di berbagai sumber
salah satunya cuplikan wawancara antara Hidayatullah dan KH. Ma’ruf Amin selaku
Ketua Komisi Fatwa MUI [halaman 23], sumber:
http://imunisasihalal.wordpress.com/2008/03/13/wawancara-dengan-mui-vaksin-haram-tapi-boleh-karena-darurat/
Berobat dengan yang haram
Jika kita masih berkeyakinan bahwa
vaksin haram, mari kita kaji lebih lanjut. Bahwa ada kaidah fiqhiyah,
الضرورة تبيح
المحظورات
“Darurat itu membolehkan suatu
yang dilarang”
Kaidah ini dengan syarat:
1. Tidak ada pengganti lainnya yang
mubah.
2. Digunakan sekadar mencukupi saja
untuk memenuhi kebutuhan.
Inilah landasan yang digunakan MUI,
jika kita kaji sesuai dengan syarat:
1. Saat itu belum ada pengganti
vaksin lainnya
Adapun yang berdalil bahwa bisa
diganti dengan jamu, habbatussauda, atau madu [bukan berarti saya merendahkan
pengobatan nabi dan tradisional], maka kita jawab bahwa itu adalah pengobatan
yang bersifat umum dan tidak spesifik. Sebagaimana jika kita mengobati virus
tertentu, maka secara teori bisa sembuh dengan meningkatkan daya tahan tubuh,
akan tetapi bisa sangat lama dan banyak faktor, bisa saja dia mati sebelum daya
tahan tubuh meningkat. Apalagi untuk jamaah haji, syarat satu-satunya adalah
vaksin.
2. Enzim babi pada vaksin hanya
sebagai katalisator, sekedar penggunaannya saja.
Jika ada yang berdalil dengan,
إن الله
خلق الداء والدواء،
فتداووا، ولا تتداووا
بحرام
”Sesungguhnya Allah
menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah, dan jangan berobat dengan
sesuatu yang haram.” [HR. Thabrani. Dinilai hasan oleh
Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1633]
Maka, pendapat terkuat bahwa pada
pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi
darurat, dengan syarat:
- Penyakit tersebut adalah penyakit yang harus
diobati.
- Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat
bermanfaat pada penyakit tersebut.
- Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.
Berlandaskan pada kaidah fiqhiyah,
إذا
تعارض ضرران
دفع أخفهما.
”Jika ada dua mudharat (bahaya)
saling berhadapan maka diambil yang paling ringan.“
Dan Maha Benar Allah yang memang
menciptakan penyakit namun pasti ada obatnya. Kalau tidak ada obatnya sekarang,
maka hanya karena manusia belum menemukannya. Terbukti baru-baru ini telah
ditemukan vaksin meningitis yang halal, dan MUI mengakuinya.
Bisa dilihat pernyataan berikut,
“Majelis Ulama Indonesia
menerbitkan sertifikat halal untuk vaksin meningitis produksi Novartis Vaccines
and Diagnostics Srl dari Italia dan Zhejiang Tianyuan Bio-Pharmaceutical asal
China. Dengan terbitnya sertifikat halal, fatwa yang membolehkan penggunaan
vaksin meningitis terpapar zat mengandung unsur babi karena belum ada vaksin
yang halal menjadi tak berlaku lagi.”
”Titik kritis keharaman vaksin ini
terletak pada media pertumbuhannya yang kemungkinan bersentuhan dengan bahan
yang berasal dari babi atau yang terkontaminasi dengan produk yang tercemar
dengan najis babi,” kata Ketua MUI KH Ma’ruf Amin di
Jakarta, Selasa (20/7).
Sumber:
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/21/03395385/Tersedia.Vaksin.Meningitis.Halal
Semoga kelak akan ditemukan vaksin
lain yang halal misalnya vaksin polio, sebagaimana usaha WHO juga mengupayakan
hal tersebut. WHO yang dituduh sebagai antek-antek negara barat dan Yahudi,
padahal tuduhan ini tanpa bukti dan hanya berdasar paranoid terhadap dunia
barat. Berikut penyataannya,
“Menurut Neni [peneliti senior PT.
Bio Farma], risiko penggunaan unsur binatang dalam pembuatan vaksin sebenarnya
tidak hanya menyangut halal atau haram. Bagi negara non-muslim sekalipun,
penggunaan unsur binatang mulai dibatasi karena berisiko memicu transmisi
penyakit dari binatang ke manusia”.
“WHO mulai membatasi, karena ada
risiko transmisi dan itu sangat berbahaya. Misalnya penggunaan serum sapi bisa
menularkan madcow (sapi gila),” ungkap Neni dalam jumpa pers Forum
Riset Vaksin Nasional 2011 di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa
(26/7/2011)
[sumber:
http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin]
Fatwa MUI pun tidak selamat, tetap
saja dituduh ada konspirasi di balik itu. Maka saya tanyakan kepada mereka,
“Apakah mereka bisa memberikan
solusi, bagaimana supaya jama’ah haji Indonesia bisa naik haji, karena
pemerintah Saudi mempersyaratkan harus vaksin meningitis jika ingin berhaji.
Hendaklah kita berjiwa besar, jangan hanya bisa mengomentari dan mengkritik
tetapi tidak bisa memberikan jalan keluar.”
Agama Islam adalah agama yang mudah
dan tidak kaku, Allah tidak menghendaki kesulitan kepada hambanya. Allah Ta’ala
berfirman,
وَمَا جَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ
مِنْ حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [Al-Hajj:
78]
Jika masih saja tidak boleh dan
haram bagaimanapun juga kondisinya
Jika masih berkeyakinan bahwa
vaksin itu omong kosong, haram dan tidak berguna, maka ketahuilah, vaksin
inilah yang memberikan kekuatan psikologis kepada saya para tenaga kesehatan
untuk bisa menolong dan mengobati masyarakat umum. Jika saya -tenaga kesehatan-
tidak melakukan vaksinasi hepatitis B, seandainya mereka yang kontra vaksinasi
terkena hepatitis B dan perlu disuntik atau dioperasi, maka saya atau pun
tenaga medis lainnya akan berpikir dua kali untuk melakukan operasi jika mereka
belum divaksin hepatitis B. Maka hati saya akan gusar dalam menjalankan tugas
saya, kita tidak tahu jika ada pasien yang luka, berdarah, lalu kita bersihkan
lukanya, kemudian ternyata diketahui bahwa dia berpenyakis hepatitis B. Karena
keyakinan sudah divaksinasi hepatitis B, maka hal itu membuat saya bisa
menjalaninya.
Begitu juga jika istri mereka
hendak melahirkan dan terkena hepatitis B, bidan yang membantu mereka akan
berpikir dua kali untuk membantu persalinan jika dia belum vaksin hepatitis B.
Karena hepatitis B termasuk penyakit kronis dengan prognosis buruk, belum
ditemukan dengan pasti obatnya.
Benarkah konspirasi dan akal-akalan
Barat dan Yahudi?
Untuk memastikan hal ini perlu
penelitian dan fakta yang jelas, dan sampai sekarang belum ada bukti yang kuat
mengenai hal ini. Walapun mereka kafir tetapi Islam mengajarkan tidak boleh
dzalim tehadap mereka, dengan menuduh tanpa bukti dan berdasar paranoid selama
ini. Begitu juga WHO sebagai antek-anteknya.
Malah yang ada adalah bukti-bukti
bahwa tidak ada konspirasi dalam hal ini, berikut saya bawakan beberapa di
antaranya:
1. Pro-kontra imunisasi dan vaksin
tidak hanya berada di Negara Islam dan Negara berkembang saja, tetapi
dinegara-negara barat dan Negara non-Islam lainnya seperti di Filipina dan
Australia
Sumber: http://www.metrotvnews.com/ekonomi/news/2011/07/28/59298/Kelompok-Antivaksin-tak-Hanya-Ada-di-Indonesia
Pro-kontra imunisasi sudah ada
sejak Pasteur mengenalkan imunisasi rabies, sampai keputusan imunisasi demam
tifoid semasa perang Boer. Demikian juga penentang imunisasi cacar di Inggris
sampai membawanya di parlemen Inggris. Para Ibu di Jepang dan Inggris menolak
imunisasi DPT karena menyebabkan reaksi panas (demam). [Pedoman Imunisasi di
Indonesia hal. 361]
2. Amerika melakukan imunisasi bagi
pasukan perang mereka. Ini menjawab tuduhan bahwa imuniasi hanya untuk
membodohi Negara muslim dan sudah tidak populer di Negara barat, bahkan mereka
mengeluarkan jurnal penelitian resmi untuk meyakinkan dan menjawab pihak kontra
imunisasi. Salah satunya adalah jurnal berjudul, “Immunization to
Protect the US Armed Forces: Heritage, Current Practice, and Prospects”
Sangat lucu jika mereka mau bunuh diri dengan melemahkan dan membodohi pasukan
perang mereka dengan imunisasi.
Jurnal tersebut bisa di akses di:
http://epirev.oxfordjournals.org/content/28/1/3.full
3. WHO juga sedang meneliti
pengembangan imunisasi tanpa menggunakan unsur binatang sebagaimana kita
jelaskan sebelumnya.
Uang dibalik imunisasi?
Jika memang ada bisnis uang
orang-orang Yahudi di balik imunisasi, maka ini perlu ditinjau lagi, karena
Indonesia sudah memproduksinya sendiri, misalnya PT. Bio Farma. Jika memang
mereka ingin memeras negara muslim, mengapa mereka tidak monopoli saja, tidak
memberikan teknologinya kepada siapa pun.
Imunisasi tidak menjamin 100%
Tidak ada yang obat yang bisa
menjamin 100% kesembuhan dan menjamin 100% pencegahan. Semua tergantung banyak
faktor, salah satunya adalah daya tahan tubuh kita. Begitu juga dengan
imunisasi, sehingga beberapa orang mempertanyakan imunisasi hanya karena beberapa
kasus penyakit campak, padahal penderita sudah diimunisasi campak.
Semua obat pasti ada efek
sampingnya
Bahkan madu, habbatussauda, dan
bekam juga ada efek sampingnya, hanya saja kita bisa menghilangkan atau
meminimalkannya jika sesuai aturan. Begitu juga dengan imunisasi yang dikenal
dengan istilah KIPI [Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi]. Misalnya, sedikit demam,
dan ini semua sudah dijelaskan dan ada penanganannya.
Anak yang tidak imunisasi lebih
sehat?
Ada pengakuan bahwa anaknya yang
tidak diimunisasi lebih sehat dan pintar dari yang diimunisasi. Maka kita
jawab, bisa jadi itu karena faktor-faktor lain yang tidak terkait dengan
imunisasi, dan perlu dibuktikan. Banyak orang-orang miskin dan kumuh anaknya
lebih sehat dan lebih pintar dibandingkan mereka yang kaya dan pola hidupnya
sehat. Apakah kita akan mengatakan, jadi orang miskin saja supaya lebih sehat?
Kita tahu sebagian besar anak Indonesia diimunisasi dan lihatlah mereka
semuanya banyak yang pintar-pintar dan menjuarai berbagai olimpiade tingkat
internasional. Apakah kita kemudian akan mengatakan, ikut imunisasi saja supaya
bisa menjuarai olimpiade tingkat internasional? Sehingga, jangan karena satu
dua kasus, kemudian kita menyamakannya pada semua kasus.
Penelitian tentang kegagalan
imunisasi dan vaksin yang setengah-setengah
Umumnya penelitian-penelitian ini
adalah penelitian tahun lama yang kurang bisa dipercaya, mereka belum memahami
benar teori imunologi yang terus berkembang. Kemudian tahun 2000-an muncul
kembali yaitu peneliti Wakefield dan Montgomerry yang mengajukan laporan
penelitian adanya hubungan vaksin MMR dengan autism pada anak. Ternyata
penelitian ini tidak menggunakan paradigm epidemiologik, tetapi paradigma
imunologi atau biomolekuler yang belum memberikan bukti shahih. Bukti juga
masih sepotong-potong. Baik pengadilan London maupun redaksi majalah yang
memuat tulisan ini akhirnya menyesal dan menyatakan bukti yang diajukan lemah
dan kabur. [Pedoman Imunisasi di Indonesia hal 366-367]
Keberhasilan vaksin memusnahkan
cacar [smallpox] di bumi
Bukan cacar air [varicella] yang
saya maksud, tetapi cacar smallpox. Yang sebelumnya mewabah di berbagai negara
dan sekarang hampir semua negara menyatakan negaranya sudah tidak ada lagi
penyakit ini.
“Following their jubilant
announcement in 1980 that smallpox had finally been eradicated from the world,
the World Health Organization lobbied for the numbers of laboratories holding
samples of the virus to be reduced. In 1984 it was agreed that smallpox be kept
in only two WHO approved laboratories, in Russia and America”
“Setelah pengumuman gembira mereka
pada tahun 1980 bahwa cacar akhirnya telah diberantas dari bumi, WHO melobi
agar jumlah laboratorium yang memegang sampel virus bisa dikurangi. Pada tahun
1984, disepakati bahwa (virus) cacar hanya disimpan di dua laboratorium yang
disetujui WHO, yaitu di Rusia dan Amerika.”
Sumber:
http://www.bbc.co.uk/history/british/empire_seapower/smallpox_01.shtml
Lihat bagaimana dua negara adidaya
saat itu yang saling berperang berusaha mendapatkan ilmu ini dengan menyimpan
bibit penyakit tersebut. Jika ini hanya main-main dan bohong belaka, mengapa
harus diperebutkan oleh banyak negara dan akhirnya dibatasi dua Negara saja.
Lihat juga karena vaksinlah yang menyelamatkan dunia dari wabah saat itu,
dengan izin Allah Ta’ala.
Dukung Imunisasi Polio Pemerintah
Kita tidak boleh memaksa, kita
hanya bisa mengarahkan. Sama dengan wabah cacar, maka polio juga menjadi
sasaran pemusnahan di muka bumi. Oleh karena itu, semua orang harus ikut serta
sehingga virus polio bisa musnah di muka bumi ini. Jika ada beberapa orang saja
yang masih membawa virus ini kemudian menyebar, maka program ini akan gagal. Di
Indonesia pemerintah mencanangkannya dengan “Indonesia Bebas Polio”. Mengingat
penyakit in sangat berbahaya dengan kemunculan gejala yang cepat.
Mungkin kita harus belajar dari
kasus yang terjadi di Belanda. Di sana, ada daerah-daerah yang karena faktor
religius, mereka menolak untuk divaksin, biasa disebut “Bible Belt”, mereka
tersebar di beberapa daerah di Belanda. Akibatnya, terjadi outbreak (wabah)
virus Measles antara tahun 1999-2000 dengan lebih dari 3000 kasus virus Measles
dan setelah diteliti ternyata terjadi di daerah-daerah yang didominasi oleh
orang-orang Bible Belt. Padahal kita tahu, sejak vaksin Measles berhasil
ditemukan tahun 1965-an [sekarang vaksin MMR (Measles, Mumps, Rubella)], kasus
Measles sudah hampir tidak ada lagi.
Maka ini menjadi pelajaran bagi
kita, ketika daya tahan tubuh kita tidak memiliki pertahanan tubuh spesifik
untuk virus tertentu, bisa jadi kita terjangkit virus tersebut dan
menularkannya kepada orang lain bahkan bisa jadi menjadi wabah. Karena bisa
jadi, untuk membangkitkan daya tahan spesifik terhadap serangan virus tertentu
yang berbahaya, sistem imunitas kita kalah cepat dengan serangan virusnya,
sehingga bisa barakibat fatal. Dan inilah yang sebenarnya bisa dicegah dengan
imunisasi. Itulah mengapa pemerintah sangat ingin agar imunisasi bisa mencakup
hampir 100% anak, agar setiap orang mempunyai daya tahan tubuh spesifik
terhadap virus tersebut. [dua paragraf di atas adalah tambahan dari editor, Jazahumullahu
khair atas tambahan ilmunya]
Keberhasilan teori dimana teori
tersebut menjadi dasar teori imunisasi
Imunisasi dibangun di atas teori
sistem imunitas (sistem pertahanan tubuh) dengan istilah-itilah yang mungkin
pernah didengar seperti antibodi, immunoglubulin, sel-B, sel-T, antigen,
dan lain-lain. Teori inilah yang melandasi ilmu kedokteran barat yang saat ini
digunakan oleh sebagian besar masyarakat dunia. Dan sudah terbukti.
Bagaimanakah sebuah obat penekan
sistem imunitas bekerja seperti kortikosteroid, bagaimana obat-obat yang mampu
meningkatkan sistem imun. Bahkan habbatussauda pun diteliti dan sudah ada
jurnal kedoktean resmi yang menyatakan bahwa habbatussauda dapat meningkatkan
sistem imun. Semua dibangun di atas teori ini. Dan masih banyak lagi, misalnya
vaksin bisa ular. Bagaimana seorang yang digigit ular berbisa kemudian
bisa selamat dengan perantaraan vaksin ini. Vaksin tetanus, rabies, dan
lain-lainnya
Demikian yang dapat saya jabarkan, saya
tidak memaksa harus mendukung imunisasi. Tetapi silahkan para pembaca yang
menilai sendiri. Yang terpenting adalah saya telah menyampaikan cara menyikapi
pro dan kontra imunisasi. Saya juga tetap berkeyakinan bahwa pengobatan
nabawi adalah yang terbaik, seperti madu, habbatussauda, dan lain-lain.
Sehingga jangan ditinggalkan hanya karena sudah diimunisasi.
Semoga bermanfaat bagi kaum
muslimin. Saya terbuka untuk berdiskusi karena belum tentu saya yang benar.
Kebenaran hanya milik Allah Ta’ala semata.